Jumat, 09 September 2016

Memperbesar Yang Kecil Memperkecil Yang Besar

Roda depan menginjak marka seratus ribu
Mengambil kakao Si Nenek Minah dibui
Guru menjewer wali murid beraksi
 
Bapak politikus korupsi sudah biasa membasi
Panama paper milik jenderal dibuat ilusi
Media tipi berpura-pura sumbang mediasi

Arwah Si Munir tertawa pasi
Bapak Priyayi girang membabi

Gus Muh berpuisi,
Kau ini bagaimana atau aku harus bagaimana?

Jumat, 20 Mei 2016

Air Seni Suci

Menurut pendapat Dokter sungguhan maupun virtual yang bisa dijumpai dalam layar kaca abad duapuluhdua modern ini, mereka secara serius dalam menyampaikan suara amanah Tuhan, yakni tentang kebenaran penyakit si aku yang terbilang pasien dengan mengendap penyakit kronis ironi modern, yaitu masalah pencernaan. Apa yang kita cerna jaman modern ini sungguh memalukan, secara tidak sengajapun walaupun sudah sekuat tenaga menghindar kita tetap saja masih tersedak arus informasi yang seharusnya tidak semestinya kita konsumsi, apa yang ada dalam otak kita adalah sebuah banjir informasi, banyak dari kita yang tenggelam dengan gagal menyerap apa-apa yang penting karena kita banyak meminum dan memakan apa saja yang terdapat di sungai deras ini, sedangkan otak manusia sebegitu Maha dengan kekurangannya, sehingga apa yang keluar dari anu kita hanyalah kotoran-kotoran modernitas. Setelah keluar dari ruang UGD rumah sakit setempat, secara harfiah memang si aku mengalami gangguan pencernaan dalam arti yang rendahan, yakni sesungguhnya, penyakit jasmani. Untuk menghadapinya aku mengakalinya dengan segenap mengkonsumsi air putih dengan jumlah liter yang berlebihan, untuk melarutkan kuman-kuman yang terdapat di sepanjang jalan pencernaan. Beberapa hari kemudian, setelah rutin melaksanakan rawat jalan dengan baik, Saat melakukan pembuangan air kecil, begitu menyenangkannya melihat air seni ini berwarna jernih, telah menandakan sedikit demi sedikit aku berhasil melakukan pendistorsian bakteri. Melegakan. Namun sejenak setelah menutup resleting, aku bersyukur kepada syaiton yang begitu banyaknya dalam toilet karena telah membelokkan pikiranku, aku jadi memikirkan oranglain secara mendadak, bagaimana ya bagaimana ya, terus menerus mencoba mencari jawaban atas kebagaimanaan tadi. Aku saja yang telah dengan sedemikiannya mengkonsumsi makanan bergizi dan minuman air putih, telah mengeluarkan air seni yang sebegitu jernihnya. Lantas...Bagaimana ya dengan saudara yang ada disana, sekitaran kita, yang hanya sanggup mengkonsumsi air putih dalam kesehariannya. Menurutku merekalah orang yang berhak menerima gelar sehat secara sedewasa mungkin mengenai kejasmanian kerohaniannya, air kencing mereka tentunya sangat-sangatlah jernih, ketimbang orang-orang yang mengaku sehat walaupun golongan ini juga sedikit banyaknya mengaku sanggup membeli kesehatannya sendiri. Mereka tidak dipusingkan besok akan makan siapa, karena merekapun tidak banyak makan, dan lebih banyak minum. Bukan minuman berwarna, dan hanyalah meminum air putih. Minum minum dan minum. Sesungguhnya dari beragam sumber literasi keagamaan yang ada dan hanya sedikitlah yang pernah ku konsumsi, kesemuanya yang sedikit itu memperbincangkan bahwa orang yang membiasakan diri lapar dan haus secara ihklas karena himpitan kebersahajaan kondisi, merekalah yang kelak akan berada di pangkuanNya selama di dunia maupun akherat, hamba yang disayang oleh Tuhan. Kejernihan yang sesungguhnya.

Senin, 16 Mei 2016

Nakal Boleh Bodoh Jangan


Semenjak ku konsumsi iklan tahun duaribuan hingga kini sudah duaribuenambelas, terhitungpun sedari memiliki dan menonton tipi hitam putih hingga menumpang tipinya tetangga yang lebih berada, ada hal yang menggelitik geli-geli menggemaskan otakku yang mulai sedikit mau dewasa ini. Sebuah produk minuman kaleng mengaku memiliki rasa paling yahut dari yang lain, ada produk balon mengaku memiliki ketipisan yang luar biasa hingga Mister Dick seperti jalan-jalan dalam kenikmatan yang riil, produk elektronikpun turut demikian, bahkan produk politik lebih mendahului segalanya ketimbang produk keagamaan yang zaman modern ini telah dicover sedemikian lembutnya, hingga hadits “agamamu agamamu, agamaku agamaku” ndak berlaku merdeka lagi. Parahnya lagi kesemuanya pernah ku “beli” semenjak masih belum pubertas dulu. Semua kefanaan ini tak luput dari pengakuan demi pengakuan setiap pihak atas pencapaian keakuan yang ironi kronis. Budaya membaca masyarakat yang bernyawa di negeriku dan negerimu ini kecil, apalagi yang mati, sedangkan dalam buku terdapat ragam kebenaran yang telanjang bahagia, so proud of you –penerbitbuku-pemusik-sastrawan-seniman-masyarakat indie yang tetap fulgar dalam mengungkapkan kebenaran, merdeka dari belenggu titipan-titipan manifest kebohongan elit politik, semoga mereka selalu setia menyetubuhi kebenaran. Sayangnya minus minat baca literasi rakyat pribumi/proletar yang jauh dibawah rata-rata tingginya minat menulis membaca nan mengumbar indah putus cinta dalam sosial media, telah disadari oleh sekelompok orang yang tak pernah bingung besok akan makan apa dan makan siapa, mereka melihat syahdunya ladang hijau rakyat yang komersil ditanami doktrin racun korupt menggunakan pupuk instan yang berbahaya. Faktanya sudah banyak remeh temeh yang berdebat minuman kaleng ini lebih nikmat dari kefanaan tingkat sosial kepunyaanmu, makanan junkfood strata highclass ini lebih diakui dunia maya dari keaslian sedapnya keserhanaan angkringan di sudut jogja, ideologi komunis ini tak lebih memiliki ruh agamais dari ideologi versi ormas wahabi karbitan yang didominasi preman-preman urban, dsb setelah awam lebih memilih menonton visual buruk iklan telepisi. Budaya konsumtif apapun, khususnya sebuah ideologi tak selamanya mampu dikelola individu dengan baik, semisal haus ya minum sesuai takaran kehausannya saja, agar tidak tersedak gagapisme intoleransi dari yang seharusnya mampu menghasilkan produktifitas penalaran rasa gemati yang toleran. Statement teman kita dari pejuang antitankproject mengungkapkan bahwa beberapa kelompok perusak hutan kalimantan yang tidak pernah berteriak terhadap kasus-kasus korupsi yang merugikan harga diri bangsa, calon guberbur DKI Jakarta Sandiago Uno beserta Menkopolhukan Luhut Panjaitan yang terkena skandal Panama Papers, beserta kasus-kasus underground negara lainnya memanfaatkan pengalihan isu terhadap bahaya laten komunis, mereka merupakan mertua yang buruk. Sasaran mereka kepada jutaan manusia bernyawa yang seperti mati dengan kebiasaan membaca yang rendah, yang terlahir tidak butuh peka membaca dan mengkaji ulang tentang komunisme, yang sebenarnya penerapan ruhnya komunisme di negeri ini sangat baik sebagai wadah perlawanan terhadap penindasan dalam bentuk ekonomi, sosial, budaya, bahkan mungkin hingga kekerasan dalam berpacaran yang tidak safety sekalipun terhadap pemerintahan. Begitu peduli hati ideologinya. Setelah membaca di situs website indie terpercaya literasi.co, aku akhirnya menemukan jenis mertua yang baik, terdapat penjelasan dan kutipan statement pengakuan bahwa dengan percaya diri dan sesadar-sadarnya Bapak Soekarno (Proklamator), D.N Aidit (ketua PKI), Haji Misbach (tokoh keagamaan Surakarta) merupakan suri tauladan tokoh komunis negeri yang santun dan penganut agama yang baik, tentunya percaya Tuhan. Pengalihan isu terhadap agenda boboroknya ironi nasional telah meluputkan mata hati masyarakat awam termasuk aku sendiri, sehingga sejenak mampu menumpulkan nalar pemuda-pemudi negeri bahwa mereka sedang menghadapi bahaya laten korupsi, bahaya laten gagap haram mengharamkan, bahaya laten perusakan lingkungan, bahaya laten selingkuh, bahaya laten menikung pacar teman, dan bahaya laten-laten lainnya yang abadi. Segala isme-isme yang ada dalam dunia ini sebaiknya dikaji terlebih dahulu secara terpelajar, meresapi segala kebaikan yang ada didalamnya, memfilter segenap kekurangannya, sembari begadang dan mengisi waktu sulitnya tidur sambil berjalan.

Sabtu, 14 Mei 2016

Bapakmu Zombie Bukan?

Barusan saja semalam aku mendapati pencerahan setelah membaca sepenggal kalimat dalam esai Alm. Romo Mangun yang berjudul "Sang Kopral" terbitan tahun 1977. Sang Kopral disini menjadi seorang sosok bapak yang "besar", memberikan kebebasan pada anaknya dalam berperilaku, dan bersedia pula menerimanya kembali andaikan sang anak gagal dalam menyetubuhi cita idealisnya. Menurut awamku yang belum pernah jadi bapak sih; wow emezing biyanget! Sejenak kemudian pikiranku terhempas sadar kembali pada hari ini, detik ini, modern ini, atau bahkan mungkin sudah beranjak dalam gaung zaman post-modernitas. Cita rasa kebapakan post-modern, menakutkan, mengapa menakutkan? Karena ukuran suksesnya menurut mereka sepertinya masih dominan ujung-ujungnya duit lagi, pegawai negeri sipil lagi, karyawan rendahan lagi, seperti penganut madzab bersyukur stadium akhir; nerima ing pandum. Marilah sejenak refreshing meninggalkan, lebih tepatnya piknik sebentar pergi dari kebijaksanaan bersyukur-buta semenjak dari rahim ibu tersebut yang telah membudaya. Terkadang terbesit nakal dalam pikiran bahwa selalu nerima ing pandum itu semacam kekurangan intensitas kreatifitas tanpa batasnya si pelaku yang selalu berakhir dengan kurang berkesan di hati dan pikiran. Idealisme berasal dari buah pikiran dan hati. Manusia yang terbiasa tak menuruti pikiran dan perasaannya sendiri, seperti zombie, menakutkan. Bayangkan saja sakitnya dunia akademisi -mungkin- mengetahui seorang alumnus mahasiswa komunikasi, pendidikan, pertanian, dan masih banyak segudang kejuruan lainnya hanya berakhir membusuk di perkantoran bank, karena pengalaman dari pengalaman yang pernah ada mengatakan siklus karyawan bank yang tak memiliki pasion ekonom yakni kerja-betahsebentar-resign. Idealisme dan pengalaman pahit manisnya semasa perkuliahan tidak belanjut di jenjang karir. Loh mengapa jenjang karir pada umumnya malah mengkhianati proses perkuliahan? Kuliahnya apa, kerjanya apaan. Bisa ditelisik lebih menjurus, semuanya bisa saja terjadi karena banyak sekali bapak-bapak modern mengkondisikan si anak untuk memiliki kenyamanan bernafas dalam ketiak sang induk. Anak model beginian sih biasanya sering dijumpai di sosmed-sosmed yang secara khususnya fokus menye-menye membahasa perihal cinta-cintaan produksinya sendiri, dampak dari lemahnya syahwat akan semangat hidup. Hmmm aku jadi mencoba membayangkan kehidupan ke-barat-barat-an, di eropa sana, antara korelasi hubungan intern sosio-kultural anak dengan bapak. Si anak memanggil bapaknya ringan-ringan saja tuh tanpa embel-embel panggilan bapak di depan nama aselinya. Oke bukan itu yang menjadi konten pembahasan, negara timur yang penuh moralitasisme ini tidak cukup siap mengunduhnya ke dalam keseharian. Namun yang menjadi keinginanku mendalaminya yakni; anak seusia 17 tahun yang sudah bisa terlepas dari belenggu kebiasaan dalam merepotkan orangtua. Bebas secara indie menggagahi idealismenya. Iya memang sih, akan banyak sisi negatifnya, namun kan ada sisi positifnya juga, ayolah kita ambil baiknya dan jauhi negatifnya, bukankah ini merupakan ruh dari para pemikir akademisi, yakni sebuah point bahwa si anak dapat bebas menentukan mau diapakankah idealismenya terlepas dari tekanan keluarga maupun lingkungan, menjadi free man, freedom. Sekali lagi ini bukannya berniat menggugurkan adat ketimuran yang begitu mengakar-moral. Namun cita luhur menjadi manusia-khususnya lelaki- merdeka. Dan bersikap adil terhadap idealismenya. Seperti kata Bapak Pram," Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan". Kalaupun bapakmu belum adil seperti itu, jadikanlah idealisme menjadi bapakmu sendiri, ataupun bercita-citalah menjadi bapak yang adil.

Jumat, 13 Mei 2016

Resign

Resign arti dalam kamus yang aku pinjam dari perpustakaan arti praktisnya keluar, bahasa gaulnya teng-crit, keluar, lega, enak. Aku ditahan untuk tidak crit duluan. Ada benarnya sih, karena terlihat nampak loyo. Namun sudah dua bulan ini aku merasakan gelisahnya menahan crit yang berkepanjangan. Perasaan bapak ibuk tidak enak gegara planing crit dadakan ini. Akupun jadi bingung. Pesan yang kutangkap dari beliau yang sagat aku cintai berbunyi, "crit lah yang lama, dan kalau bisa di dalam". Jadiii take easy jaa masa depanku milik Tuhan, masa ya mau aku ragukan, rasanya kurang pantas berlaku demikian. Tapi...tapi...aku punya jalan lain. Jalan Indie. Tak mungkin sesuatu yang visioner dapat dirasakan sebegitu cepat suksesnya. Hidupku tak ingin seberacun mie instan. Aku ingin Indie. Balasanku pada orang yang tersayang tidak selalu bernada materi. Sepertinya doa-doaku pada orang terkasih juga ndak begitu dijauhi sama Tuhan kok. Akhirul salam, semoga aku bisa jadi buruh bagi idealismeku sendiri, banyak idealisme sedikit menjilat-jilat, doain ya mams paps, critku berbuah keindahan.

Kamis, 12 Mei 2016

Pengampunan

Manusia yang tidak bisa menangis
Menikmati segarnya air mata lawan
Diskusi akal, rasa, dan nafsu-nafsunya
Menolak segala dogma dari taman langit

Sebelum Tuhan sampai
PerjalananNya tentulah berat
Jalan menuju setiap hambaNya terjal
Karena si hamba memang sedang tak ingin dikunjungi

Aku ingin melihatnya menangis
Benar-benar tersedu-sedu
Aku menguatkan pelukan pada firasat
Sebenar-benarnya ia orang yang baik

Setelah Tuhan sampai
Setiap perjalanan berat, setia berakhir indah
Aku adalah doa-doa itu sendiri
Yang bisa berbicara dengan si gelap

Neoliberalisme

Pagi siang malam
Semua wajah berubah perut
Anugerah setiap Tuhan
Agar kalian semua berpikir

Jam Pasir

Kita membangun taman
Matamu bersinar kesegaran
Selang jauh silam siang malam kemudian
Hati menangkap fatamorgana gurun gersang

Kita mudah mengenal
Namun mana yang tetap tinggal
Usia kepercayaanku lebih pendek
Dari kepercayaan itu sendiri

Jam pasir tersumbat turun
Memang tiada waktu yang berjalan
Selama dalam kesia-siaan

Selasa, 10 Mei 2016

Perjalanan Tak Sia-sia

Hei hidup tak butuh cinta
Di neraka tak ada cokelat
Rasakan valentinemu tiada
Itu semua bila kau di neraka

Kau teriakkan demikian
Karena kau sedang patah
Menjadi ranting
Berakhir di perapian

Kau hanya tertinggal kereta
Namun tak punya inisiatif
Tujuan hanyalah ilusi
Dimana kau berada disitulah kau bertuan

Temukan surgamu
Temukan surgamu

Kamis, 28 April 2016

Menarinya Waktuku Waktumu

Habiskan gelisah muda
Menua tanpa tersedu pilu
Menampung sakit sederas mungkin
Menampik senang sedewasa mungkin


Sisi yang baik hanya dalam langit
Namun ini bumi yang terpuruk


Sedih dalam sedih
Senang dalam senang
Lupa melihat ke atas
Lupa melihat ke bawah


Mari menari disaatnya memang menari
Tiada henti disaatnya berhenti
Dengan caranya sendiri
Keajaiban langit akan mengunjungi bumi
Maulana Arif Hidayat. Diberdayakan oleh Blogger.

Followers